Hampir semua tradisi memiliki kepercayaan soal terjadinya banjar bandang yang menenggelamkan sebagian besar bumi. Kisah banjir bandang itu bisa ditemukan di India, Cina, Burma, Melayu, Australia, Samudera Hindia, dan masyarakat Indian. Namun, banjir bandang yang berhubungan dengan Alquran adalah banjir yang terjadi pada zaman Nabi Nuh.
Temuan-temuan para ilmuwan membuktikan bahwa banjir pada zaman Nabi Nuh itu memang benar terjadi. Bahkan, situs kapal yang dipercaya sebagai bekas kapal Nabi Nuh telah ditemukan di wilayah Turki dekat perbatasan Iran. Di sekitarnya ditemukan pula jangkar batu, reruntuhan bekas pemukiman, dan ukiran dari batu.
Kayu dari perahu tersebut sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya sebuah bentuk simetris raksasa seperti perahu. Diduga tanah, debu dan batuan vulkanis yang memiliki usia bebeda-beda telah masuk kedalam perahu tersebut selama bertahun-tahun sehingga memadat dan membentuk sesuai bentuk perahu.
Mengenai penyebab terjadinya banjir bandang di zaman Nabi Nuh, Allah Swt. berfirman:
“(Kami telah binasakan) kaum Nuh tatkala mereka mendustakan para rasul. Kami tenggelamkan mereka dan kami jadikan (cerita) mereka itu pelajaran bagi manusia. Kami telah menyediakan bagi orang-orang zalim azab yang pedih,” (QS Al-Furqan [25]: 37).
Ayat-ayat Alquran menggunakan redaksi yang mendalam sekali mengenai kapal yang dibuat oleh Nuh atas perintah Allah Swt.
“Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman, ‘Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman.’ Yang beriman bersama dengan Nuh itu hanya sedikit,” (QS Hud [11]: 40).
Ayat pada Surah Hud tersebut menginformasikan peristiwa banjir bandang yang terjadi di Gunung Judi, puncak pegunungan Ararat, yang terdapat di Turki bagian timur.
Informasi Alquran tersebut seratus persen sama dengan informasi yang diperoleh dari ilmu sejarah dan temuan-temuan arkeologi modern. Informasi Alquran justru tidak sama dengan apa yang diketahui oleh kebanyakan manusia pada saat Alquran turun.
Tim dari Museum Inggis dan Universitas Pennsylvania Amerika pada 1920 yang diketuai oleh Sir Leonard Wooley. Tim ini melakukan penggalian di Tell Al-Obeid, bagian utara Kota Ur, di Iraq. Mereka berhasil menguak lapisan endapan tanah yang amat dalam, yang menyimpan wadah, patung keramik, dan bagian-bagian tanah liat yang masih menyisakan bekas-bekas tumbuhan alang-alang yang menempel di tanah itu.
Berdasarkan penelitian dengan mikroskop, Leonard menyimpulkan kuantitas endapan tanah yang terdiri dari berbagai bahan yang disapu oleh air dari wilayah bagian tengah Sungai Efrat dalam satu banjir bandang yang tingginya tidak kurang dari 25 kaki. Di Taurat sendiri diinformasikan tinggi banjir bandang itu mencai 26 kaki.
Menurut Leonard, banjir bandang itu memang tidak menghanyutkan seluruh dunia, tetapi banjir itu sangat dahsyat yang melampaui tampungan Lembah Dujlah dan Efrat. Ia juga menenggelamkan semua tempat yang berpenduduk antara pegunungan di bagian timur bumi dan anak bukit bersahara di bagian barat bumi.
Saat itu, tempat-tempat itulah yang berpenghuni. Namun, Nabi Muhammad Saw. lebih dulu menginformasikan semua itu kepada kita sebelum para arkeolog mengungkapkannya.
Allah Swt. mengutus Nabi Nuh a.s. pada sekelompok orang yang menyembah berhala. Dia dianugerahi kesabaran dalam menghadapi kaumnya. Setiap kali berdakwah kepada kaumnya, dia selalu menyampaikannya dengan penuh hikmah dan nasihat yang baik.
Semua usaha dilakukannya siang-malam, sembunyi dan terang-terangan, selama 1000 tahun, namun tidak juga berhasil meluluhkan hati kaumnya yang tidak mau beriman kepada Allah. Hanya sedikit orang yang mau beriman. Sebagian besar, termasuk para pembesar kaumnya, tidak mau beriman. Mereka bahkan menghina dan melecehkannya. Mereka merasa tidak pantas mengikuti dakwah Nuh.
Saat sudah tidak ada titik temu lagi antara Nabi Nuh dan kaumnya, dan kaumnya merasa risih dengan dakwah Nabi Nuh, mereka pun menantang Nabi Nuh untuk menimpakan azab kepada mereka. Jawaban Nabi Nuh berikut patut dijadikan contoh dalam menyikapi orang-orang yang tidak mau menerima ajakan kebaikan:
“Kaumku! Kalian sudah keterlaluan. Saya ini memang manusia biasa seperti kalian. Hanya saya mendapat wahyu. Kalian harus tahu, Tuhan kalian itu satu. Saya hanya menyampaikan apa yang diperintahkan kepada saya. Satu waktu saya memberikan kabar gembira dan di waktu yang lain saya memperingatkan ihwal siksa.
Ingat! Tempat kembali kalian semua adalah Allah. Jika Allah berkehendak, Dia akan memberi petunjuk kepada kalian. Jika Dia mau, maka Dia akan menyegerakan siksa kepada kalian. Jika Dia mau, Dia pun akan menambahkan siksa kalian.”
Selama bertahun-tahun lamanya, setelah mengatakan hal tersebut, Nabi Nuh masih terus saja berdakwah dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Dia dengan setia menanti kaumnya mau kembali ke dalam pelukan agama Allah.
Namun, apa yang terjadi? Abad berganti abad, yang ada justru kaumnya semakin menjadi-jadi dalam menantang dan melecehkan dakwahnya. Mereka semakin berani, bahkan generasi belakangan dari kaumnya menjuluki Nabi Nuh sebagai orang gila.
Setelah dirasakan semakin lama kaum Nuh semakin berani kepadanya, apalagi generasi belakangan justru lebih berani daripada generasi sebelumnya, Nabi Nuh berdoa kepada Allah. Berikut isi doanya:
“Ya Allah, Engkau tahu apa yang dilakukan kaumku padaku. Sebelumnya, hamba-Mu ini tidak begitu mempedulikan apa yang dilakukan kaumku padaku. Namun, ketika generasi berganti, semua orang justru semakin berani.” Rekaman ayat berikut menginformasikan doa Nabi Nuh tersebut:
“Nuh berkata, ‘Tuhanku, aku telah menyeru kaumku siang dan malam, tetapi seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya). Mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat,’” (QS Nuh [71]: 5-7).
Saat itulah, Allah Swt. mewahyukan kepadanya apa yang direkam dalam ayat berikut:
“Diwahyukan kepada Nuh bahwa sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), Karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan,” (QS Hud [11]: 36).
Saat itulah Nabi Nuh tahu kalau Allah telah memastikan bahwa hanya sedikit yang beriman kepadanya. Saat itulah kesabaran Nabi Nuh habis. Allah Swt. menceritakan doa Nabi Nuh saat itu sebagai berikut:
“Nuh berkata. ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir,” (QS Nuh [71]: 26-27).
Setelah Nabi Nuh meminta tolong kepada Allah atas apa yang dilakukan kaumnya, Allah Swt. mewahyukan kepadanya, seperti direkam pada ayat berikut:
“Buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu. Mereka itu akan ditenggelamkan,” (QS Hud [11]: 37).
Nabi Nuh pun melaksanakan perintah untuk membuat kapal. Ia membangun satu tempat khusus untuk pembuatan kapal itu, yang letaknya jauh dari kota. Ia menyiapkan banyak papan kayu dan beberapa gergaji. Ia mulai pengerjaan pembuatan peratu itu dengan semangat, karena itu merupakan perintah Allah Swt.
Meski demikian, ia tidak juga terbebas dari ledekan dan pelecehan dari kaumnya. Bahkan ada yang sampai tega hati mengatakan, “Nuh, kemarin-kemarin kamu mengaku dirimu seorang nabi dan utusan Tuhan. Lalu, mengapa sekarang kamu justru menjadi tukang kayu? Apa kamu sudah tidak berminat lagi menjadi nabi, dan beralih profesi menjadi tukang kayu?”
Nabi Nuh tidak memperdulikan semua itu. Dia tetap meneruskan pengerjaan pembuatan kapal, sampai kapal itu kelihatan bentuknya. Nuh membuatnya dengan tiga tingkat: bawah, tengah, dan atas. Saat Nabi Nuh selesai membuat kapal itu, Allah Swt. mewahyukan kepadanya, seperti dalam ayat berikut:
“Hingga apabila perintah kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman, ‘Naikkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (naikkan pula) orang-orang yang beriman.’ Dan, yang beriman bersama Nuh hanya sedikit,” (QS Hud [11]: 40).
Cahaya dari tungku menjadi tanda khusus antara Nabi Nuh dan Allah. Pada saat tanda itu jelas, Nabi Nuh membawa keluarga dan kaumnya untuk menaiki kapal. Dia membawa serta semua hewan dengan pasangannya.
Konon, jumlah keseluruhan orang yang ikut serta ada 13 orang, yang terdiri dari: Nuh beserta tiga putranya (Sam, Ham, Yafits), beserta istrinya masing-masing. Ada enam orang lagi lainnya. Ada satu putra Nuh yang tidak ikut serta dalam kapal itu. Anak itu bernama Kan’an, yang menolak ajakan Nabi Nuh dan memilih menjadi kafir.
Saat Nabi Nuh sudah dalam posisi yang nyaman di kapal, air pun datang dari segala penjuru, guyuran dari langit, ditambah air yang keluar dari semua mata air. Mengenai hal ini, Allah Swt. berfirman sebagai berikut:
“Lalu Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, lalu bertemulah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan. (QS Al-Qamar [54]: 11-12).
Setelah itu, Nabi Nuh beserta semua orang yang berada di atas kapal itu, berdoa:
“Nuh berkata, ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.’ Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS Hud [11]: 41).
Sekali waktu kapal itu berlayar dengan hembusan angin yang tenang, dan di waktu lain kapal itu berlayar dengan angin yang berhembus kencang. Ombak yang demikian besar menggulung orang-orang kafir.
Saat itulah mereka tenggelam. Nabi Nuh beserta orang-orang yang ada di atas kapal itu selamat. Mulai saat itulah, kapal menjadi alat transportasi baru yang dipergunakan di lautan. Dan, Nabi Nuh yang pertama kali membuatnya atas perintah Allah.
Sumber : datdut.com
0 Response to "Kisah Banjir Bandang Zaman Nabi Nuh, Mengambil Pelajaran dari Masa Lalu"
Posting Komentar